Beranda | Artikel
Nanti, Kalau Sudah Kaya, Bisa Rajin Ibadah
Selasa, 1 April 2014

Ada seorang teman yang, secara ekonomi, “kurang mapan”. Dia kerap kali mengeluhkan keadaan hidupnya. Agar tidak terlalu kelihatan “gersulo“, dia mengkaitkannya dengan ibadah. Sekilas, dia memiliki ketertarikan dengan Islam dan rajin beribadah. Maklum, dahulu, dia tinggal di lingkungan yang gemar dengan “fadhilah amal“. Hanya saja, untuk saat ini, dia jarang ke masjid. Alasannya, sibuk dengan pekerjaan.

“Saya hanya butuh modal 60 juta untuk usaha. Nanti, kalau saya sudah punya usaha sendiri ‘kan bisa rajin shalat jemaah, rajin ke pengajian, bisa bebas mengatur waktu ibadah,” ujar beliau.

Spontan, saya pun menyahut, “Apa bisa jamin, kalau kaya bisa rajin ibadah? Jangan-jangan, malah sibuk dengan usahanya.”

“Ya, nanti kalau kaya ‘kan bisa berangkat haji, bisa mengulurkan tangan kepada orang lain,” tambahnya.

Kaum muslimin yang budiman, saya yakin, angan-angan semacam ini sering kita jumpai di sekitar kita, atau mungkin, angan-angan itu muncul dalam benak kita sendiri. Barangkali, tidak hanya terkait dengan pribadi kita. Bahkan, dalam lingkup yang lebih luas lagi. “Andaikan kaum muslimin memiliki negara Islam, memiliki infrastruktur dan fasilitas yang memadai, memiliki persenjataan yang lengkap, memiliki instansi moneter yang kuat …,” dan seabrek angan-angan lainnya.

Tidak dipungkiri bahwa angan-angan semacam ini merupakan bagian dari tabiat yang ada dalam diri manusia, yaitu kecintaannya terhadap dunia. Latar belakang inilah yang menjadikan kita terlalu berharap dengan dunia. Seolah-olah, hanya dengan banyak fasilitas duniawi kita bisa melaksanakan bentuk penghambaan kepada Allah dengan sempurna. Namun, apakah silogisme semacam ini bisa dibenarkan?

Barangkali, kita sering lupa bahwa umumnya pengikut dakwah para nabi adalah masyarakat kelas bawah, dari sisi perekonomian dan jabatan. Bahkan, di antara mereka ada yang berstatus sebagai budak yang bisa diperjual-belikan. Sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhari, bahwa ketika Abu Sufyan datang ke Romawi, dia ditanya oleh Heraklius tentang kebaradaan seorang nabi di Mekah. Heraklius ingin membandingkan antara sifat-sifat kenabian terakhir yang disebutkan dalam Taurat dengan informasi yang disampaikan oleh Abu Sufyan. Salah satu pertanyaan yang disampaikan adalah,

وَسَأَلْتُكَ أَشْرَافُ النَّاسِ اتَّبَعُوهُ أَمْ ضُعَفَاؤُهُمْ؟ فَذَكَر أَنَّ ضُعَفَاءَهُمُ اتَّبَعُوهُ ، قَالَ: وَهُمْ أَتْبَاعُ الرُّسُلِ

“Saya bertanya kepadamu, apakah yang mengikutinya (Nabi) itu pemuka-pemuka masyarakat ataukah orang-orang lemah di kalangan mereka?” Abu Sufyan mengatakan, “Yang mengikutinya adalah orang-orang lemah di kalangan masyarakat.” Heraklius berkomentar, “Mereka itulah pengikut para rasul.” (HR. Bukhari, no. 7)

Satu hal yang menarik adalah komentar Heraklius terhadap pernyataan Abu Sufyan, yang merupakan hasil dari pengetahuan beliau setelah membaca Alkitab (Taurat), bahwa orang-orang yang lemah dan miskinlah yang umumnya menjadi pengikut kebenaran. Demikian realita sejarah pengikut para nabi yang banyak kita jumpai dalam Alquran. Sebagi contoh, Allah menceritakan perkataan umat Nabi Nuh ‘alaihis salam yang ingkar; mereka memberikan komentar,

وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَى لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ

Kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami, yang bodoh pemikirannya, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun daripada kami.” (QS. Hud:27)

Ini semua menunjukkan bahwa fasilitas duniawi bukanlah “modal” mutlak bagi manusia untuk bisa rajin beribadah. Justru sebaliknya, kemegahan dunia yang dimiliki seseorang akan menyibukkan manusia, sehingga tidak mampu melaksanakan ibadah dengan baik kepada Allah.

Orang yang Allah pilih untuk menjadi pengikut para nabi adalah orang yang notabene tidak memiliki banyak fasilitas duniawi, sehingga tidak ada penghalang berupa kesibukan dunia bagi mereka untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah. Inilah isyarat dari makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ ، وَلَكِنِّى أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ قَبْلَكُمْ ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا ، وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ

Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku takutkan menimpa kalian. Namun, aku takut bahwa dunia akan dibentangkan untuk kalian, sebagaimana dunia telah dibentangkan untuk umat sebelum kalian. Akhirnya, kalian berlomba-lomba mendapatkannya, sebagaimana yang dilakukan orang-orang terdahulu. Selanjutnya, dunia membinasakan kalian, sebagaimana dahulu dunia telah membinasakan umat sebelum kalian.” (HR. Bukhari, no. 4015)

Sebagai contoh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan empat tokoh kesesatan dalam sebuah hadis tentang shalat, yang semuanya disebabkan karena penghalang dunia,

من لم يحافظ عليها لم يكن له برهان ولا نور ولا نجاة وكان يوم القيامة مع قارون و هامان و فرعون و أبي بن خلف

Barang siapa yang tidak menjaga shalat maka dia tidak memiliki bukti, cahaya, dan keselamatan. Pada hari kiamat kelak, dia dikumpulkan bersama Qarun, Haman, Fir’aun, dan Ubai bin Khalaf.” (HR. Ibnu Hibban, no. 1467; dinilai sahih oleh Syuaib Al-Arnauth)

Empat tokoh di atas merupakan gembong kekafiran: Qarun, orang yang sesat karena sibuk dengan hartanya; Haman sesat demi menjaga jabatannya sebagai panglima Fir’aun; Fir’aun kafir karena gengsi dengan pangkat dan kedudukannya; Ubai bin Khalaf menjadi musuh Islam karena harta perdagangannya.

Pilihan Allah untuk Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam

Sebagaimana yang kita pahami dalam sejarah, kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat jauh dari fasilitas duniawi yang memadai. Banyak keterangan dari para istri beliau, yang menceritakan keadaan beliau yang sangat jauh dari kemewahan duniawi. Beliau pernah keluar rumah karena kelaparan, dapur beliau pernah tidak mengepulkan asap selama tiga hari, beliau menggadaikan baju besi beliau untuk mendapatkan beberapa gantang gandum.

Beliau jalani keadaan ini sampai akhir hayat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang diceritakan Aisyah radhiallahu ‘anha,

مَا شَبِعَ آلُ مُحَمَّدٍ – صلى الله عليه وسلم – مُنْذُ قَدِمَ الْمَدِينَةَ مِنْ طَعَامِ الْبُرِّ ثَلاَثَ لَيَالٍ تِبَاعًا ، حَتَّى قُبِضَ

Keluarga Muhammad–shallallahu ‘alaihi wa sallam–tidak pernah kenyang dengan makanan gandum selama tiga hari berturut-turut, sampai beliau meninggal.” (HR. Bukhari, no. 5416)

Bahkan, keadaan beliau ini, juga terjadi pada tempat tinggal beliau. Al-Hasan Al-Bashri, salah satu ulama tabi’in yang sewaktu kecilnya diasuh oleh sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menggambarkan kesederhanaan rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengatakan,

كنت أدخل بيوت أزواج النبي صلى الله عليه وسلم في خلافة عثمان بن عفان فأتناول سقفها بيدي

Aku pernah masuk ke rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di zaman pemerintahan Utsman, dan aku bisa memegang atap rumah beliau dengan tanganku.” (Ath-Thabaqat Al-Kubra, 1:501, Ibnu Sa’d)

Demikianlah gambaran kehidupan yang Allah pilihkan untuk Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Andaikan dunia itu merupakan fasilitas utama seseorang untuk bisa semakin bertakwa kepada Allah, tentu Allah akan berikan kehidupan yang jauh lebih lebih lengkap fasilitasnya daripada kondisi yang beliau alami.

Barangkali, ada sebagian orang yang akan berkomentar, “Bukankah kita temukan banyak orang menjadi kafir gara-gara kemiskinan dan masalah ekonomi? Bahkan, ini dikuatkan dengan hadis,

كاد الفقر أن يكون كفرا

Hampir saja kefakiran itu menjadi kekufuran.‘”

Komentar ini bisa kita dinilai kurang tepat, dengan dua alasan:
1. Dengan asumsi bahwa pernyataan di atas adalah hadis maka maksud “fakir” yang disebutkan dalam pernyataan di atas bukanlah “fakir harta”, namun “fakir hati”-nya. Dengan demikian, dirinya selalu merasa kurang dan kurang, meskipun pada kenyataannya memiliki banyak fasilitas hidup. Makna ini sesuai dengan doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allahumma inni a’udzu bika minal kufri wal faqri (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekafiran dan kefakiran).” Karena itu, Allah jadikan beliau orang yang tidak butuh dunia, meskipun–secara ekonomi–beliau tergolong “miskin”.
2. Yang lebih tepat, pernyataan di atas bukanlah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Banyak ulama ahli hadis menjelaskan bahwa hadis di atas adalah hadis dha’if, sebagaimana keterangan Imam As-Sakhawi (murid Ibnu Hajar) dalam kitab Al-Maqashid Al-Hasanah. Kesimpulan tentang lemahnya hadis ini juga diamini oleh ahli hadis abad ini, Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani.

Sementara, untuk amal ibadah yang membutuhkan modal khusus, semacam zakat, haji, atau umrah, bagi Anda yang tidak mampu maka itu bukan kewajiban Anda. Sekali lagi, itu hanya kewajiban bagi yang mampu. Karena itu, harap untuk tidak terlalu dirisaukan.

Kuncinya adalah ridha

Suatu ketika, ada seseorang yang melapor kepada Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhuma, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Abu Darda’ radhiallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Kefakiran itu lebih aku cintai daripada kaya, dan kondisi sakit lebih aku sukai daripada kondisi sehat.” Setelah mendengar laporan ini, Hasan mengatakan, “Semoga Allah mengampuni Abu Darda’, adapun yang benar, saya katakan,

من اتكل على حسن اختيار الله له لم يتمن غير الحالة التي اختار الله له

Barang siapa yang bersandar kepada pilihan terbaik yang Allah berikan untuknya, dia tidak akan berangan-angan selain keadaan yang dipilihkan untuknya.‘”

Sekilas, bagi orang yang gemar dengan fadhilah amal, mereka akan membenarkan perkataan Abu Darda’, karena dengan kondisi semacam itu, orang bisa mendapatkan banyak pahala dan keutamaan. Namun, hal ini lain bagi cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; seorang hamba hendaknya pasrah terhadap kondisi keduniaan yang dia jalani.

Semua orang bisa menjalani ibadah tanpa harus menjadi orang kaya. Anda, saya, mereka adalah hamba Allah, yang memiliki tugas yang sama, yaitu mengnhambakan dirinya kepada Allah ta’ala. Keadaan dunia yang saat ini kita alami, disadari maupun tidak, merupakan pilihan yang Allah berikan untuk kita. Tinggal bagaimana kita menyikapinya.

Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik. Ya Allah, tolonglah aku untuk bisa mengingat-Mu, bersyukur atas nikmat dari-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu.

***

Penulis: Ust. Ammi Nur Baits, S.T.

Artikel www.PengusahaMuslim.com

Baca Catatan Akhir Pekan Lainnya:

 


Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/175-nanti-kalau-sudah-kaya-bisa-rajin-ibadah.html